Kuliah

Hipotesis Sapir-Whorf

             1.    Latar belakang

Memahami linguistik sebagai ilmu mengenai bahasa dapat berarti memahami bagaimana linguistik dalam perspektif linguis-linguis yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mendalami ilmu yang saat ini mulai menjadi perhatian para ahli di berbagai bidang. Pendapat para linguis mengenai bahasa memang mungkin tampak berbeda atau bahkan tampak bertentangan satu sama lain, namun mempelajari berbagai pandangan mengenai linguistik diharapkan akan melahirkan pemahaman yang holistik, yang pada gilirannya akan memunculkan kebijaksanaan dalam kepribadian ilmiah kita, bahkan pada saat kita cenderung menyetujui satu pendapat dan menentang pendapat yang lain.
Banyak ilmuan yang berbicara dan mendefinisikan bahasa. Ini bisa dimengerti karena sejak jaman yunani Latin, dengan tokoh terkenal Aristoteles, orang sudah membicarakannya. Tetapi l;ebih awal lagi orang tidak memperhatiakn apa itu bahasa.
Pandangan yang muncul dari lingusitik struktural denagn tokoh Bloomfield bahwa bahasa adalah sistem lambing berupa bunyi yang yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berintraksi.  
Sebagai alat komunikasi bahasa juga sebagai tingkah laku sosial (social behavior) yang dipakai dalam komunikasi. Karena masyarakat terdiri dari individu-individu, masyarakat, secara keseluruhan dan individu saling mempengaruhi dan saling bergantung. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa, dan tingkah laku bahasa individu tersebut dapat berpengaruh luas terhadap anggota masyarakat bahasa lain.
Bahasa juga sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan. Sebagai produk social atau budaya tentu bahasa merupakan wadah aspirasi  social, kegiatan dan perilaku masyarakat. Seorang filsof  menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dan dalam satu pernyataan terkenal juga mengatakan bhwa batas manusia adalah bahasa mereka.

                   2.      HIPOTESIS SHAPIR-WHORF
            a.       Biografi Singkat Edward Shapir
Edward Sapir dilahirkan di Lauenburg, Jerman pada tahun 1884. Dia beremigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1889 lalu menetap di New York. Gelar Bachelor ia peroleh pada tahun 1904 dan mendapatkan gelar Ph.D. pada tahun 1909 dari Columbia University. Di lembaga pendidikan tinggi inilah pemikirannya dipengaruhi oleh Franz Boas.
            Selain dikenal sebagai ahli bahasa, Sapir juga tertarik dengan behaviorisme kultural dan perkembangan kepribadian manusia. Para mahasiswa yang pernah menjadi muridnya kemudian mengumpulkan esai yang dibuat berdasarkan studi Sapir, lalu mendedikasikannya untuk Sapir. Kumpulan esai yang diberi judul Culture, Language, and Personality ini menjadi saksi kuatnya pengaruh pemikiran Edward Sapir terhadap murid-muridnya.
b.      Biografi Singkat Benjamin Lee Whorf
Benjamin Lee Whorf aau yang dikenal dengan nama Whorf adalah satu murid Edward Sapir. Lahir di Winthrop (Amerika) pada 24 April 1897 dan berkebangsaan Amerika Serikat. Ia mengikuti pandangan gurunya yang terkenal dengan teori Sapir-Whorf.
            Rumusan awal hipotesis Sapir-Whorf dikemukakan oleh Edward Sapir pada tahun 1929 yang diterjemahkan oleh Hoijer (1954), yang menyatakan bahwa:
“ Bahasa merupakan penuntun “relasi social.” Meskipun bahasa tidak dipandang sebagai bidang yang menarik para ilmuan social, bahasa dengan kuat menentukan pemikiran kita mengenai masalah dan proses social. Manusia tidak hidup di dunia sebagaimana dunia itu secara obyektif dan mereka tidak di duniaa kegiatan social seperti yang biasanya dipahami, tetapi dia dipandu oleh bahasa tertentu yang menjadi sarana ekspresi masyarakat mereka. Kita tidak mungkin menganaggap bahwa seseorang itu menyesuaikan dengan kenyataan tanpa pemaaknaan bahasa, dan tidak mungkin pula menganggap bahasa merupakan masalah komunikasi atau cerminan social tertentu. Yang benar ialah bahwa dunia yang sesungguhnya dalam banyak dibangun secara tidak tersadari dalam kebiasaan berbahasa kelompok itu. Tidak pernah ada bahasa yang sama dapat menunjukkan realitas social yang sama. Dunia tempat hidup masyarakat yang berbeda merupakan dunia yang berbeda, bukan sekedar dunia yang sama dengan nama-nama yang berbeda[1].
            Shapir-Whorf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memilki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Maka Shapir-Whorf  menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan bahasa dan pikiran.
1.      Hipotesis pertama adalah linguistic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (non linguistic cognitive). Perbedaan bahasa menybabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2.      Hipotesis kedua adalah linguistic determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia, dengan kata lain struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa[2].
Edward Sapir (1884–1939) memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini dibawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut Sapir telah menjadi fakta bahwa suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama. Dengan tegas Sapir juga mengatakan apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahulu[3].
Dalam sebuah teori logika alamiah tentang hubungan pikiran dan prilaku berbahasa, bahasa bertugas menyamapikan hasil pikiran. Gagasan tersebut ditentang oleh Whorf yang menyatakan bahwa pola kebahasaan seseorang menentukan cara pandang orang tersebut mengenai dunia. Whorf menyatakan bahwa bahasa membentuk pikiran dan bukan hanya bertugas menyampaikaan hasil pikiran. Menurut gagasan tersebut, apabila dua bahasa tampak memiliki cara-cara yang berbeda dalam mendeskripsikan tentang dunia, maka mungkin sekali cara pengorganisasian bahasa seseorang akan menentukan cara seseorang memandang dunia[4].
Benjamin Lee Whorf (1897 – 1941), murid Sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa mempunyai bunyi-bunyi yang berbeda-beda, tetapi semuanya menyatakan rumusan-rumusan yang sama yang didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. Dengan demikian semua bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan pikiran yang sejajar dan saling dapat diterjemahkan satu sama lain.
            Sapir memandang bahwa bahasa mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan budaya. Bagaikan dua sisi dari koin mata uang, bahasa dan budaya merupakan dua hal dalam satu sistem yang tidak dapat dipisahkan. Sapir memandang bahwa perjalanan sejarah bahasa berjalan beriringan dengan sejarah budaya. Pertanyaan terkait mana yang lebih dahulu muncul sebagai sebab, apakah budaya atau bahasa, tentunya merupakan pertanyaan yang sangat filosofis, namun satu hal yang harus kita perhatikan adalah penekanan bahwa sejarah kedua variabel ini berjalan secara beriringan. Dengan kata lain, bahasa dan budaya merupakan hal yang saling mempengaruhi.  
Pemikiran ini menjadi argumentasi bagi beberapa orang yang berpendapat bahwa sapir adalah salah satu pengikut mazhab linguistik Behaviourisme yang dipelopori L.Bloomfield. Behaviorisme sendiri mempunyai anggapan dasar bahwa bahasa itu sebatas gerak stimulus ke respon, bersifat manusiawi dan merupakan sebuah prilaku. Sapir berpandangan, bahwa bahasa merupakan sebuah kemampuan yang diwarisi secara kultural, bukan secara biologis dengan landasan instingtif. Ketika suatu hal diwarisi secara kultural, maka kita dapat mengatakan bahwa hal tersebut tentu melibatkan interaksi sosial sebagai salah satu elemen utama dalam sebuah sistem kebudayaan. Maka, dengan mencermati pernyataan di atas ditambah dengan pemahaman Sapir bahwa bahasa menetukan persepsi kita akan realitas di sekeliling kita.
 Budaya adalah sebuah realitas yang ditentukan dengan bahasa, dan bahasa adalah sesuatu yang diwariskan secara kultural. Namun demikian, Sapir lebih menekankan bahwa bahasa yang menjadi penentu cara persepsi kita akan kenyataan. Lebih lanjut, Sapir menegaskan pendapatnya dengan menyatakan, “hilangkan komunitas sosial, maka individu tidak akan pernah dapat belajar untuk berbicara, artinya mengkomunikasikan ide sesuai dengan tradisi dari masyarakat tertentu.
            Selain itu juga gagasan utama Shapir-Whorf ialah bahasa tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan pengalaman, tetapi juga berfungsi sebagai sarana membentuk pengalaman bagi penuturnya. Dari pernyataan tersebut itu dapat disimpulkan bahwa bahasa memainkan peran penting dan luas dalam totalitas kebudayaan. Bahasa bukan sekedar sarana komunikasi sederhana, akan tetapi bahasa merupakan penentu persepsi penuturnya dan cara menganalisis pengalaman ke dalam kategori-kategori.  
            Dari hipotesis tersebut, Shapir-Whorf memberikan contoh salah satunya yaitu: orang Inggris menyebut salju turun dari langit, salju di atas tanah, gumpalan salju seperti es, salju lembut, salju yang diterpa angin, disebut snow saja sudah cukup. Namun orang Eskimo memandangnya lain, salju dan berbagai bentuk dan keadaannya itu memiliki nama yang berbeda. Hal tersebut pencerminan pengalaman yang berbeda dalam lingkungan budaya yang berbeda pula. Bahasa yang dipelajari oleh mereka mencerminkan budaya yang berbeda, konsepsi bahwa bahasa menentukan pikiran secara mungkin benar dalam penegrtian yang amat terbatas.
            Whorf menambahkan contoh bahwa dalam gramatika bahasa orang Indian hopi terdapat perbedaan antara hakekat yang “bernyawa” dan “tak bernyawa”, dan di antara kelompok hakekat yang dikategorikan bernyawa  ialaha “awan dan batu”. Whorf menyimpulkan bahwa suku Indian hopi percaya bahwa awan batu merupakan makhluk yang bernyawa dan bahasa merekalah yang membuat mereka berpandangan demikian. Berbeda dengan bahasa Hopi, bahsa Inggris tidak memandang awan dan batu sebagai hakekat bernyawa. Sehingga para penutur bahasa Inggris tidak melihat cara yang sama dengan bahasa suku Hopi.
Untuk menunjukkan bahwa bahasa menuntukan jalan pikiran manusia, Whorf menunjukkan contoh lain. Kalimat see that wave dalam bahasa inggris mempunyai pola yang sama dengan kalimat see that house.  Kalimat see that house kita memang bisa melihat sebuah rumah, tetapi dalam kalimat see that wave menurut Whorf belum ada seorang-pun yang pernah melihat satu ombak. Yang terlihat sebenarnya adalah permukaan air yang terus-menerus berubah dengan gerak naik-turun, dan bukan apa yang dinamakan satu ombak. Jadi, di sini kita seolah-olah melihat satu ombak karena bahasa telah menggambarkan begitu kepada kita[5].

3.      Tanggapan para Linguis
1.      Kekontroversial hipotesis sapir-whorf
Teori dari hipotesis Sapir-Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa menentukan struktur pikiran. Diantara hipotesi atau teori yang ada barangkali hanya hipotesis sapir-whor-lah yang paling kontroversial. Hiotesis ini menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, banyak menimbulkan kritik dan reaksi hebat dari para ahli filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi, dan lain-lain. Carrol (1965:11,19) misalnya, mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan pada Weltanschaung (pandangan hidup, pikiran, logika), juga tidaklah benar ada satu pandangan hidup yang tidak terpisahkan dari satu bahasa tertentu. Kalupun ada, itu adalah karena faktor sosial dan sejarah yang tidak ada sangkut pautnya dengan bahasa.
Untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf itu, Farb (1974) mengadakan penelitian terhadap sejumlah wanita jepang yang menikah dengan orang Amerika dan tinggal di San Fransisco, Amerika. Dari penelitiannya Farb mengambil kesimpulan bahwa bahasa bukan penyebab perbedaan-perbedaan kebudayaan, akan tetapi hanya mencerminkan kebudayaan tersebut. Bahasa jepang mencerminkan kebudayaan jepang, dan bahasa inggris mencerminkan budaya inggris.
Kecenderungan yang ada dewasa ini terutama dalam psikolinguistik, lebih menitik beratkan pengkajian bahasa sebagai satu sistem yang berdiri sendiri terpisah dari pemikiran seperti yang dikemukakan oleh Chomsky, Lenneberg, dan beberapa pakar lain seperti Mc Namara (1977), Lambert (1977), dan Haugen (1977).

2.      Dukungan Terhadap Hipotesis Shapir-Whorf
Banyak penelitian pengujian dan pembuktian yang telah dilakukan oleh para ahli bahasa sejak hipotesis Shapir-Whorf dikemukakan. Penelitian yang menguji dan membuktikan hipotesis tersebut. Salah satu pendukung hipotesis Shapir-Whorf ialah Fearing.
            Fearing mengkaji hipotesis tersebut menurut teori persepsi dan kognisi. Menurut Fearing hipotesis tersebut yang berhubungan dengan kegiatan berpikir, berkomunikasi dan berhubungan dengan prilaku dan makna dalam diri penutur bahasa itu. Menurut Fearing, konsepsi dalam hipotesis Shapir-Whorf yang menunjukkan adanya hubungan pikiran, prilaku, dan bahasa sebagai pengakuan mengenai adanya penentu seorang individu dalam memikirkan dunia. Oleh karena itu, Fearing menyimpulkan bahwa hipotesis tersebut dikuatkan oleh teori persepsi dan kognisi dalam kajian psikologis.
            Di antar dukungan-dukungan yang lain, dua di antaranya dikemukakan oleh Hoijer dan Hokkett. Hoijer  mengulas dan menjelaskan hipotesis Shapir-Whorf memberikan ilustrasi dengan bahasa Navaho. Hockett berusaha mengembangkan gagasan dalam hipotesis itu dengan penelitiannya tentang perbandingan antara bahasa Cina dan bahasa Inggris.
Hostede (2001:9) menyatakan, bahwa bahasa dipengaruhi oleh empat elemen dalam budaya, antara lain nilai, ritual, pahlawan (qudwah) dan symbol budaya. Keempat hal ini mempengaruhi bahasa pada satu sisi, namun pada saat bersamaan juga membutuhkan bahasa sebagai sarana pengekspresiannya.



KESIMPULAN

  1.      Sapir memandang bahwa bahasa mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan budaya. Bagaikan dua sisi dari koin mata uang, bahasa dan budaya merupakan dua hal dalam satu sistem yang tidak dapat dipisahkan. Sapir memandang bahwa perjalanan sejarah bahasa berjalan beriringan dengan sejarah budaya. Pertanyaan terkait mana yang lebih dahulu muncul sebagai sebab, apakah budaya atau bahasa, tentunya merupakan pertanyaan yang sangat filosofis, namun satu hal yang harus kita perhatikan adalah penekanan bahwa sejarah kedua variabel ini berjalan secara beriringan. Dengan kata lain, bahasa dan budaya merupakan hal yang saling mempengaruhi.Sama halnya dengan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Disitulah tampak jalan pikiran seorang telah ditentukan oleh bahasanya.
  2.      Para Linguis ada yang pro dan kontra terhadap hipotesis yang dikemukakan oleh Sapir-Whorf. Diantara yang mendukung banyak penelitian pengujian dan pembuktian yang telah dilakukan oleh para ahli bahasa sejak hipotesis Shapir-Whorf dikemukakan. Penelitian yang menguji dan membuktikan hipotesis tersebut. Salah satu pendukung hipotesis Shapir-Whorf ialah Fearing. Di antar dukungan-dukungan yang lain, dua di antaranya dikemukakan oleh Hoijer dan Hokkett.  Dan yang kontra terhadap hipotesis itu ialah; Chomsky, Lenneberg, dan beberapa pakar lain seperti Mc Namara, Lambert dan Haugen.




[1] . Bambang Yudi Cahyono, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa, (Surabaya; Airlangga University Press, 1995),hlm:417
[2] . Wahyu Widhiarso, Jurnal;Pengaruh Bahasa terhadap Pikiran, (Fakultas Psikologi UGM: 2005)
[3] . Abdul Chaer,  Psikolinguistik Kajian Teori, (Jakarta: 2009, PT. Rineka Cipta),hlm:52
[4] . ibid, hlm:
[5] . Abdul Chaer,  Psikolinguistik Kajian Teori, (Jakarta: 2009, PT. Rineka Cipta),hlm: 52-54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar